Opini oleh Danhes Eugene Pratama
Mahasiswa S2 Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
“Public policy is whatever governments choose to do or not to do” – Thomas Robert Dye. Pemikiran Thomas R. Dye memberi pandangan kepada kita dalam melihat kebijakan. Kebijakan bukan hanya soal program atau undang-undang yang tertulis. Menyatakan sikap bahkan diam dan tidak melakukan apa-apa adalah sebuah pilihan kebijakan yang penuh konsekuensi. Dalam konteks ini, Presiden baru saja menyetujui rencana kebijakan mandatori bioetanol E10, ini adalah sebuah pilihan aktif untuk menekan impor migas sekaligus mewujudkan transisi menuju energi bersih. Namun di balik narasi tersebut, terdapat potensi masalah teknis dan ketidaksiapan industri yang apabila diabaikan, justru berisiko merugikan rakyat sebagai konsumen.
Langkah ini lahir dari urgensi yang nyata. Berdasarkan data BPS periode Januari-Agustus 2025 neraca perdagangan migas menunjukkan defisit yang signifikan di mana nilai impor (US$21,10 miliar) masih jauh melampaui nilai ekspor (US$9,03 miliar). Melihat berbagai potensi masalah yang ada, rencana kebijakan yang terkesan terburu-buru ini perlu dipertimbangkan kembali.
Untuk mewujudkan program kejar kemandirian energi, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia seperti dikutip pada saat acara Indonesia Langgas Energi pada acara detikSore di Anjungan Sarinah, Jakarta bersama PLN dan Pertamina, mengungkapkan:
“Kalau bensin ini 60% konsumsi kita itu masih impor. Maka ke depan kita akan mendorong untuk ada E10. Kemarin malam sudah kami rapat dengan Bapak Presiden. Bapak Presiden sudah menyetujui untuk direncanakan mandatori 10% etanol. Dengan demikian, kita akan campur bensin kita dengan etanol, tujuannya apa? Agar tidak kita impor banyak dan juga untuk membuat minyak yang bersih, yang ramah lingkungan. Nah, ini untuk anak-anak generasi Gen Z ini kan mau yang bersih-bersih. Jadi kita kasih untuk yang bersih.”
Adapun campuran etanol merupakan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang berasal dari tebu dan singkong. Tujuan utama E10 ini untuk mengurangi pemakaian bahan bakar fosil. Dengan mencampur 10% etanol, maka proporsi nya menjadi 90% bahan bakar fosil dan 10%-nya adalah energi baru terbarukan. Selain itu, etanol juga memiliki fungsi untuk meningkatkan oktan secara mudah. Kemampuan ini memberikan dampak efisiensi bagi produsen untuk dapat memproduksi bensin ber-oktan tinggi tanpa mengeluarkan biaya produksi yang tinggi langsung dari kilang minyak. Kebijakan ini pun sudah umum di banyak negara. Namun, pernyataan mendasar yang muncul, apakah etanol aman untuk digunakan pada ekosistem kendaraan Indonesia saat ini? Di balik semua manfaat tersebut, terdapat temuan ilmiah yang menunjukkan potensi kerugian signifikan.
Mandatori E10: Sebuah Pilihan yang Disederhanakan
Beberapa penelitian menyoroti bagaimana etanol dapat berdampak negatif pada kinerja mesin terutama pada kendaraan model lama yang tidak dirancang khusus untuk menggunakannya. Salah satu sifat etanol adalah mudah menyerap air dari atmosfer. Pada negara dengan iklim tropis yang sangat lembab seperti Indonesia, sifat ini menjadi masalah serius. Etanol akan menarik banyak air dan sebagaimana sifat air yang korosif, bahan bakar ber-etanol akan secara signifikan meningkatkan korosi pada mesin dan tangki bahan bakar.
Selain itu, berdasarkan data dari U.S. Departement of Energy, etanol memiliki kandungan energi yang lebih rendah dibandingkan bensin murni. Hal ini dapat menyebabkan penggunaan campuran E10 dapat menurunkan efisiensi bakar sekitar 3-4% dibandingkan bensin murni pada kondisi berkendara yang sama. Artinya, dengan penggunaan E10, jarak tempuh kendaraan akan lebih pendek dengan jumlah bahan bakar yang sama ketimbang kendaraan yang menggunakan bensin murni.
Dengan hadirnya bukti-bukti ilmiah ini, kita seolah dihadapkan dengan sebuah pilihan yang disederhanakan. Narasi yang diungkapkan oleh pemerintah menyiratkan bahwa jalan satu-satunya menekan impor migas, dan menciptakan energi baru yang bersih adalah dengan mendukung penuh program mandatori E10. Padahal, telah terbukti bahwa kendaraan yang tidak dirancang untuk E10 akan menghadapi risiko korosi serta penurunan efisiensi yang akan jelas merugikan konsumen.
Penyederhanaan masalah ini mencerminkan strategi yang dijelaskan dalam kerangka analisis narasi kebijakan (policy naratives) yang dikemukakan oleh Paul Cairney. Pembuat kebijakan sering kali membangun sebuah cerita persuasif untuk membingkai sebuah isu dan memenangkan dukungan. Dalam kasus E10, pemerintah secara aktif membangun sebuah narasi bahwa kebijakan ini adalah ‘pahlawan’ yang akan menyelematkan Indonesia dari ‘penjahat’ berupa ketergantungan impor dan kerusakan lingkungan. Dengan menggunakan slogan emosional seperti ‘kemandirian energi’ dan ‘untuk Gen Z yang mau bersih-bersih’, narasi ini mengabaikan segala komplektisitas teknis yang ada. Tujuannya adalah untuk membuat kebijakan ini sebagai satu-satunya pilihan yang logis dan patriotic, sementara menempatkan kritik berbasis teknis terdengar seolah-olah menunjukkan sikap tidak nasionalis.
Sebagaimana pendapat yang diungkapkan oleh influencer otomotif Fitra Eri, etanol ini dapat aman digunakan dengan syarat: base fuel yang menggunakan etanol ini harus dicampur dengan aditif yang dari awal dirancang spesifik untuk bekerja maksimal pada base fuel yang menggunakan etanol. Aditif inilah yang kemudian melindungi mesin dari efek samping etanol. Penolakan dari beberapa SPBU swasta atas kebijakan ini, masih menurut pendapat Fitra Eri, mengindikasikan bahwa kemungkinan besar bensin yang dijual saat ini menggunakan aditif yang khusus dirancang untuk bensin murni. Peralihan ke E10 kemudian akan memaksa SPBU swasta untuk melakukan riset ulang untuk menciptakan formula aditif baru yang tidak hanya akan memakan waktu namun juga investasi yang signifikan.
Lebih jauh lagi, pertimbangan rencana kebijakan ini harus lebih dari sekedar kesiapan teknis. Muncul kekhawatiran lain yang tak kalah penting terkait sumber bahan baku. Tanpa perencanaan tata ruang yang ketat, lonjakan permintaan bioetanol dari tebu dan singkong dapat berisiko memicu deforestesasi. Akan menjadi sebuah ironi ketika kebijakan dengan label ramah lingkungan namun justru dibayar dengan ongkos emisi dari asap pembukaan hutan.
Melihat kondisi kendaraan yang belum sepenuhnya siap, industri yang belum terbukti siap secara teknis, serta adanya risiko lingkungan yang nyata, maka rencana kebijakan mandatori E10 ini harus dipertimbangkan kembali. Alih-alih memaksakan implementasi, pemerintah sebaiknya memetakan transisi yang realistis. Berikan waktu bagi industri baik industri otomotif maupun industri bahan bakar untuk beradaptasi. Industri kendaraan perlu memastikan bahwa kendaraan yang dijual ke masyarakat sudah sepenuhnya kompatibel dengan BBM beretanol. Sementara itu, Industri bahan bakar baik swasta maupun pertamina perlu waktu untuk dapat merancang aditif yang efektif terhadap bensin dasar yang beretanol.
Memberikan waktu untuk industri beradaptasi serta memastikan adanya kebijakan sumber bahan baku yang berkelanjutan adalah jalan terbaik agar kemudian produk kendaraan dan bahan bakar yang dijual di pasaran memberikan konsumen benefit yang maksimal. Negara dapat menekan impor dan menciptakan energi bersih yang ramah lingkungan, kemudian kita sebagai konsumen mendapatkan bahan bakar berkualitas tinggi tanpa merusak kendaraan yang kita gunakan.
Referensi:
Dye, T. R. (2013). Understanding Public Policy (14th ed.). Pearson.
Cairney, P. (2021). What insights from policy process research do policy analysts need to know? Dalam The Politics of Policy Analysis. Springer Nature Switzerland AG. https://doi.org/10.1007/978-3-030-66122-9_4
Badan Pusat Statistik. (2025, 1 Oktober). Ekspor dan Impor Indonesia Agustus 2025. Diakses dari Ekspor dan Impor Indonesia Agustus 2025 masing-masing tercatat USD 24,96 miliar dan USD 19,47 miliar – Badan Pusat Statistik Indonesia
U.S. Department of Energy. (n.d.). Bioethanol. Alternative Fuels Data Center. Diakses pada 08 Oktober 2025, dari https://afdc.energy.gov/fuels/ethanol-benefits
CNBC Indonesia. (2025, 7 Oktober). Bahlil: Presiden Prabowo Setuju BBM Campur Etanol 10 Persen [Video]. YouTube. https://youtu.be/bjv4DvOmEfU?si=g0HkyGtnfJrx9Ie2
Eri, F. [@fitra.eri]. (2025, 8 Oktober). Tentang Ethanol (Reels). Instagram. Diakses dari https://www.instagram.com/reel/DPjcmsXDBJP/?igsh=MXhrcjUwZnMwZ3NqcQ==